Oleh : Syafridoerahman
Fenomena dengan ikutnya para walinagari se-Kabupaten Solok, Forum Walinagari (Forwana) menanggapi terkait isu asusila yang diduga dilakukan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Solok, Dodi Hendra menambah persoalan baru yang bisa memicu perpecahan di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Solok.
Banyak pihak yang menyayangkan Forwana Kabupaten Solok ikut menanggapi melalui sebuah video yang mengecam perbuatan asusila yang belum diketahui benar dan salahnya. Hal itu juga seperti menggambarkan, dan mempertegas bahwa aparatur pemerintahan nagari patut diduga kuat juga ikut dalam politik praktis.
Alasannya sederhana, kasus asusila tersebut bukanlah persoalan aneh yang harus dibesarkan karena itu adalah perilaku yang harus dipertanggung jawabkan baik secara hukum, maupun pada sang pencipta (Allah SWT). Apalagi kasus asusila tersebut bisa dilihat dan didengar setiap saat.
Jadi, bagaimana mungkin Forwana Kabupaten Solok tersebut begitu peduli terhadap kasus asusila yang terjadi di personal DPRD, disaat nuansa politik begitu tinggi. Apalagi Anggota DPRD Kabupaten Solok sedang mempergunakan hak-haknya (Interpelasi) sebagai wakil rakyat, atas kebijakan Bupati Solok Epiyardi Asda, yang dinilai sangat merugikan kepada masyarakat.
Yang lebih memiriskan lagi, disaat Anggota DPRD Kabupaten Solok ngotot memperjuangkan hak-hak para walinagari itu sendiri, yang direnggut secara tidak konstitusional oleh kepala daerah, ujuk-ujuk Forwana Kabupaten Solok menyerang salah satu pimpinan DPRD. Apalagi persoalan pada pimpinan DPRD Kabupaten Solok tersebut belum jelas hitam putihnya.
Jika kita kembali sejenak ke belakang, masih ingat dengan kasus asusila Walinagari Paninjauan, Kecamatan X Koto Diatas Kabupaten Solok, bahkan video mesumnya yang berdurasi lebih kurang 2 menit tersebut beredar luas di Media Sosial (Medsos), reaksi Forwana pun dipertanyakan dikala itu sebagai bentuk penolakan terhadap kasus asusila.
Begitu juga sebelumnya dengan isu yang berkembang pada pengurus Forwana itu sendiri, yang sekarang telah menjadi mantan pengurus dimana juga diduga terlibat langsung dengan kasus asusila. Lalu kemana Forwana yang terkesan menjadi pagar betis disaat Bupati Solok ditantang seorang anak muda dari Kota Solok, yang memperjuangkan kebutuhan masyarakatnya, yang akan dihabisi oleh Bupati Solok Epiyardi Asda, sebagai bentuk penolakan terhadap asusila.
Ada lagi kasus anggota Forwana yang sudah divonis pengadilan (Inkrah) karena terbukti mencemarkan nama baik masyarakatnya, dan sampai saat ini masih menjabat sebagai walinagari aktif. Forwana seakan-akan tutup mata karena perilaku kriminal dari anggota harus ditutupinya.
Selain itu, berapa banyak walinagari yang telah diberhentikan oleh Bupati Solok yang dinilai cacat prosedur. Jangankan untuk memperjuangkan hak walinagari, berempati saja tidak pernah terdengar. Sedangkan Forwana ini seharusnya garda terdepan untuk membela anggotanya.
Seperti diketahui, Forwana ini dikukuhkan langsung oleh Bupati Solok. Tentunya antara Forwana dengan Bupati Solok memiliki hubungan inten demi kemajuan dan kondusifnya situasi di setiap nagari di Kabupaten Solok ini.
DPRD mendapatkan informasi bahwa aparatur nagari mendapatkan intervensi dan intimidasi untuk memenangkan Caleg, dan partai tertentu oleh Pemda Kabupaten Solok. DPRD pun aktif memperjuangkan nasib aparatur nagari ataupun masyarakat penerima manfaat APBD, agar dalam berpesta demokrasi pada Pemilu 2024 bisa berbuat jujur dan adil.
Rasa khawatir wakil rakyat kepada rakyatnya yang bisa saja terjebak permasalahan hukum pada Pemilu 2024, atau mungkin karena ketidaktahuan aparatur nagari terhadap aturan, sehingga diduga kuat aparatur nagari pun secara tersistem masif juga terlibat dalam politik praktis untuk memenangkan Caleg dan partai tertentu.
Lalu apa keuntungan Forwana berkomentar disaat dinamika politik begitu tinggi di Kabupaten Solok. Atau mungkin melihatkan kepada publik bahwa para walinagari dalam keadaan tidak baik-baik saja, namun takut mengakuinya karena akan berdampak pada pendapatan yang akan hilang setiap bulannya.
Seharusnya, Forwana Kabupaten Solok ini objektif dalam menilik persoalan dan lebih mengedepankan azas praduga tak bersalah, tanpa menjustifikasi sebelum adanya keputusan dari lembaga atau institusi yang ditentukan oleh perundang-undangan. Karena para walinagari adalah cerminan masyarakat di nagari yang ia pimpin.
Begitu mudah menjustifikasi seseorang tanpa didasari bukti valid. Bukankah hal itu bisa merugikan diri sendiri, institusi bahkan bisa berdampak pada kerugian anggota keluarga orang yang dijustifikasi, begitupun sebaliknya.
Lalu siapa yang bertanggung jawab atas kegaduhan di Kabupaten Solok ini. Semuanya harus bertanggungjawab, Bupati dan Wakil Bupati Solok, Aparatur Sipil Negara (ASN), pimpinan dan anggota DPRD, Forkopimda dan yang paling utama bertanggung jawab adalah masyarakat Kabupaten Solok. Karena pemimpin dan wakil rakyat itu yang memilih masyarakat.
Selain itu, untuk kondusifnya daerah Kabupaten Solok ini para walinagari harus berada di garda terdepan, karena walinagari itu bersentuhan langsung dengan masyarakatnya dalam ber-pemerintahan. Jangan biarkan “Alek” lima tahun ini menjadi ajang perpecahan masyarakat karena beda pilihan, namun jadikanlah perbedaan pilihan sebagai perekat sekaligus pemersatukan tujuan kebaikan bersama.
Jangan biarkan masyarakat terpecah belah akibat memuaskan nafsu serakah para politikus, yang tidak memperdulikan hak-hak masyarakat apalagi sampai tidak menghargai sesama masyarakat Kabupaten Solok ini.
Sudah seharusnya kita kembali ke pangkal jalan jika kita dirasa tersesat di ujung jalan. Buka mata, buka hati dan buka pikiran jika kita memang seorang manusia yang layak jadi manusia, dan yang layak memanusiakan orang lain.