Foto Ilustrasi
Oleh: Syafridoerahman
7.topone.id – Fenomena dunia pendidikan belakangan ini sungguh memprihatinkan. Sedikit sikap tegas seorang guru terhadap peserta didik, yang seharusnya dimaknai sebagai bentuk pembinaan dan kasih sayang, kini justru sering berujung pada ranah hukum.
Peristiwa memilukan yang terjadi di SMAN 1 Cimarga, Banten, menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Betapa rentannya posisi guru saat ini, ketika niat mendidik dengan ketegasan bisa disalahartikan sebagai tindakan kekerasan.
Padahal dalam tradisi Minangkabau, nilai pendidikan karakter sudah mengakar kuat. Ungkapan lama “Sayang ka anak dilacuik” menggambarkan filosofi bahwa rasa sayang kadang perlu disertai ketegasan, bahkan hukuman ringan, agar anak menyadari kesalahannya dan tak mengulanginya.
Sikap tegas guru-guru di Sumatera Barat (Sumbar) yang berani menegur, bahkan memberikan hukuman fisik ringan di bagian tubuh tertentu, seperti pinggang ke bawah bukanlah bentuk kekerasan, melainkan cara mendidik yang telah diwariskan turun-temurun. Ketegasan itu justru membantu pembentukan karakter dan tanggung jawab moral bagi siswa.
Di Minangkabau, orang tua menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anak kepada guru di sekolah maupun surau. Mereka percaya bahwa di tangan guru dan ulama, anak akan ditempa menjadi pribadi yang berilmu, beradab, dan tahu malu ketika berbuat salah.
Karena itu, ketika anak dimarahi atau diberi hukuman ringan, para orang tua tak serta-merta protes. Sebab, mereka memahami bahwa marahnya guru adalah tanda kasih sayang, bukan kebencian.
Pepatah lama “Berang karano sayang, diam karano banci” (marah karena sayang, diam karena benci) menjadi dasar dalam mendidik anak di ranah Minang. Artinya, teguran keras justru muncul dari rasa peduli agar anak tidak terjerumus lebih jauh dalam kesalahan.
Kini, ketika dunia pendidikan modern cenderung menghapus bentuk ketegasan itu, muncul kekhawatiran bahwa generasi muda akan tumbuh tanpa fondasi karakter yang kuat.
Jika semua tindakan disiplin dianggap salah, bagaimana mungkin terbentuk generasi yang jujur, tangguh, dan bertanggung jawab, seperti yang diharapkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam mewujudkan “Generasi Emas Indonesia”?
Sudah saatnya Indonesia belajar kembali dari kearifan lokal Minangkabau. Bahwa pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter.
Dan dalam proses itu, teguran, hukuman ringan, bahkan sedikit kerasnya kasih sayang seorang guru bukanlah bentuk kekerasan, melainkan bagian dari cinta yang mendewasakan. ***











