Ilustrasi
KABUPATEN SOLOK – Tak jarang walinagari atau kepala desa yang terpilih melalui pemilihan langsung tidak mampu memenuhi harapan warganya. Dalam beberapa kasus ini bisa berujung pada upaya mencopot, atau menurunkan walinagari/kepala desa dari jabatannya.
Mungkinkah seorang walinagari/kepala desa diberhentikan dari jabatannya?, pahami aturan mainnya berdasarkan regulasi yang berlaku.
Secara umum, pengaturan mengenai desa ada dalam Undang Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di dalamnya diatur juga terkait pemberhentian kepala desa.
Meski demikian, pemberhentian kepala desa secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 82 Tahun 2015, tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 66 Tahun 2017, tentang Perubahan Atas Peraturan Permendagri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa.
Dalam Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan Kepala Desa berhenti karena, meninggal dunia, berhenti sendiri, atau diberhentikan.
Dalam Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan Kepala Desa diberhentikan karena, berakhir masa jabatannya, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selam 6 bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala desa dan melanggar larangan sebagai kepala desa.
Lebih lengkap dalam Pasal 8 ayat 2 Permendagri Nomor 66 Tahun 2017 disebutkan kepala desa diberhentikan karena berakhir masa jabatannya, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan karena menderita sakit baik fisik ataupun mental, mengakibatkan tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya.
Tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala desa, melanggar larangan sebagai Kepala Desa, adanya perubahan status desa menjadi kelurahan, penggabungan dua desa atau lebih menjadi desa baru, atau penghapusan desa, tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa, dan/atau dinyatakan sebagai terpidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Apa saja Kewajiban dan larangan bagi Kepala Desa?
Menurut Pasal 26 ayat (4) UU Nomor 6 Tahun 2014 kepala desa berkewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta memprtahankan danmemelihara keutuhan NKRI.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa, mentaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender.
Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel , transparan, profesional,efektif dan efisien, bersih serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di desa, menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik.
Mengelola keuangan dan aset desa, melaksanakan urursan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa, menyelesaiakn perselisihan masyarakat di desa, mengembangkan perekonomian masyarakat desa, membina dan melestarikan nilai sosial dan budaya masyarakat desa.
Memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di desa, mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup, dan memberikan informasi kepada masyarakat desa.
Selain itu, Pasal 27 UU Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan dalam melaksanakan tugas, hak, wewenang dan kewajiban, kepala desa wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban pemerintahan desa setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota.
Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan desa secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setiap akhir tahun anggaran, di Sumbar di sebut BPN.
Memberikan dan atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat setiap akhir tahun anggaran.
Sementara itu, menurut Pasal 29 UU Nomor 6 Tahun 2014 kepala desa dilarang merugikan kepentingan umum, membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain dan/atau golongan tertentu, menyalahgunakan wewenang, tugas hak dan/atau kewajiban.
Melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan atau golongan masyarkat tertentu, melakukan tindakan meresehkan sekelompok masyarakat desa, melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain, yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya.
Menjadi pengurus partai politik, menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang, merangkap jabatan sebagai Ketua dan/atau anggota BPD, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Meninggalkan tugas selama 30 hari kerja berturut-turut tampa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Bagaimana prosesnya pemberhentian walinagari atau kepala desa?
Pasal 8 ayat (3) Permendagri Nomor 66 Tahun 2017 menyatakan Badan Permusyawaratan Desa (Di Sumbar BPN) melaporkan kepada Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain.
Laporan tersebut memuat materi kasus yang dialami oleh walinagari/kepala desa yang bersangkutan (ayat 4). Atas laporan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa atau BPN, Bupati/Walikota melakukan kajian untuk proses selanjutnya.***